Dampak Yang Di Rasakan
Akibat Kawin Lari Atau Merarik Budaya Sasak
Kawin lari atau merarik merupakan proses pernikahan adat
Sasak yang didahului dengan membawa lari atau
“menculik” seorang gadis dari “kekuasaan” orang tuanya sebelum
prosesi pernikahan secara agama dan adat dilaksanakan. Menyikapi tradisi tersebut,
secara garis besar pendapat masyarakat Sasak terbagi menjadi dua, yaitu mereka yang
menyetujuinya dan mereka yang menolaknya. Perbedaan pendapat kedua kelompok ini masih
merupakan rangkaian dari perbedaan pendapat mereka dalam melihat asal mula
kawin lari. Para tokoh adat Sasak yang berpendapat bahwa kawin lari merupakan budaya
asli masyarakat Sasak tentu mendukung lestarinya tradisi ini. Sedangkan para
tokoh agama atau tuan guru yang berpendapat bahwa budaya kawin lari merupakan tradisi
masyarakat Hindu Bali yang diikuti oleh masyarakat Sasak sudah tentu juga lebih
menganjurkan untuk meninggalkan tradisi ini. Idealnya kawin lari
hanya sebagai formalitas adat Sasak, yakni si perempuan dan keluarganya sudah
tahu sebelumnya bahwa si perempuan akan diculik. Namun pada prakteknya, kerap
terjadi kawin lari dengan tanpa mendapat persetujuan perempuan dan keluarganya. Hal
ini bisa digolongkan sebagai bentuk pemaksaan nikah terhadap perempuan Sasak.
Lebih jauh, praktek ini setidaknya melanggar dua hak mereka, yaitu hak untuk
menentukan sendiri siapa yang akan menjadi suami mereka dan hak untuk memperoleh dan
menyelesaikan pendidikan. Karena tidak jarang perempuan yang dibawa lari
akhirnya “harus” menikah dan ketika itu pula mereka “harus” putus sekolah. Dalam konteks
inilah, eksistensi nikah lari perlu dipertanyakan karena terkesan sebagai proses penyingkiran
hak perempuan dan cita-cita orang tuanya untuk memperoleh pendidikan yang
tinggi. Perempuan dengan wawasan yang luas dan tingkat pendidikan yang tinggi tentu
berpengaruh positif untuk kemajuan sebuah masyarakat. Mereka juga tentu lebih mampu
dan siap untuk mendidik putra-putrinya agar menjadi generasi yang lebih baik dari
generasi sebelumnya. Lalu mengapa tradisi merarik masih eksis
sampai saat ini? Hal ini bisa dilihat dari pandangan
hidup para pelakunya. Masyarakat sasak merupakan masyarakat patriarkat dimana
kedudukan perempuan dan laki-laki tidaklah sejajar. Superioritas lakilaki di atas perempuan
terlembagakan secara adat. Nilai-nilai yang dikaitkan dengan maskulinitas atau
yang dianggap ideal untuk laki-laki dianggap lebih tinggi daripada nilai-nilai
femininitas. Berani mengambil resiko, agresif dan kompetitif merupakan diantara stereotip
yang dilekatkan pada makulinitas masyarakat Sasak. Dalam budaya
merarik, seorang lelaki akan dianggap lebih berwibawa apabila berani mengambil
resiko dengan melakukan penculikan terhadap perempuan yang ingin dinikahinya.
Melakukan penculikan akan menimbulkan perasaan heroik tersendiri bagi para pelakunya.
Oleh karena itu, berani melakukan kawin lari merupakan symbol maskulinitas yang
diharapkan ada pada setiap lelaki Sasak. Dalam
perkembangannya, laki-laki Sasak mulai menyadari superioritas mereka atas perempuan
Sasak. Mereka mulai merasa ada yang tidak adil dengan pola hubungan di antara mereka.
Namun tidak mudah juga bagi mereka untuk keluar dari realitas tersebut. Perasaan
tidak adil tentu saja selalu kalah dengan kenikmatan previllage budaya Sasak yang langsung
mereka rasakan, sehingga konflik tersebut tidak pernah bisa terselesaikan.
Laki-laki Sasak yang kemudian berhasil keluar dari konflik tersebut adalah mereka yang
tersadar lebih banyak oleh faktor eksternal seperti agama, dan akulturasi lintas
budaya.
Berikut adalah dampak dari tradisi perkawinan
adat Sasak (merari’) sebagai berikut:
1. Terjadinya perilaku atau sikap yang otoriter
oleh suami dalam menentukan keputusan keluarga;
2. Berbaginya pekerjaan domestik hanya bagi isteri
dan dianggap tabu jika lelaki (suami) Sasak mengerjakan tugas-tugas domestik;
3. perempuan karier juga tetap diharuskan dapat
mengerjakan tugas domestik di samping tugas atau pekerjaannya di luar rumah
dalam memenuhi ekonomi keluarga (double faurden/peran ganda);
4. Terjadinya praktek kawin-cerai yang sangat akut
dan dalam kuantitas yang cukup besar di Lombok;
5. Terjadinya peluang berpoligami yang lebih besar
bagi laki-laki (suami) Sasak dibandingkan lelaki (suami) dari etnis lain;
6. Kalau terjadi perkawinan lelaki jajar karang
dengan perempuan bangsawan, anaknya tidak boleh menggunakan gelar kebangsawanan
(mengikuti garis ayah), tetapi jika terjadi sebaliknya, anak berhak menyandang
gelar kebangsawanan ayahnya;
7. Nilai perkawinan menjadi ternodai jika
dikaitkan dengan pelunasan uang pisuke;
8. Kalau terjadi perceraian, maka isterilah yang
biasanya menyingkir dari rumah tanpa menikmati nafkah selama ‘iddah, kecuali
dalam perkawinan nyerah hukum atau nyerah mayung sebungkul;
9. Jarang dikenal ada pembagian harta bersama,
harta biasanya diidentikkan sebagai harta ayah (suami) jika ada harta warisan,
sehingga betapa banyak perempuan (mantan isteri) di Sasak yang hidup dari
belaian nafkah anaknya karena dianggap sudah tidak memiliki kekayaan lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar