Senin, 10 Juli 2017

Dampak Yang Di Rasakan Akibat Kawin Lari Atau Merarik Budaya Sasak



Dampak Yang Di Rasakan Akibat Kawin Lari Atau Merarik Budaya Sasak
Kawin lari atau merarik merupakan proses pernikahan adat Sasak yang didahului dengan membawa lari atau “menculik” seorang gadis dari “kekuasaan” orang tuanya sebelum prosesi pernikahan secara agama dan adat dilaksanakan. Menyikapi tradisi tersebut, secara garis besar pendapat masyarakat Sasak terbagi menjadi dua, yaitu mereka yang menyetujuinya dan mereka yang menolaknya. Perbedaan pendapat kedua kelompok ini masih merupakan rangkaian dari perbedaan pendapat mereka dalam melihat asal mula kawin lari. Para tokoh adat Sasak yang berpendapat bahwa kawin lari merupakan budaya asli masyarakat Sasak tentu mendukung lestarinya tradisi ini. Sedangkan para tokoh agama atau tuan guru yang berpendapat bahwa budaya kawin lari merupakan tradisi masyarakat Hindu Bali yang diikuti oleh masyarakat Sasak sudah tentu juga lebih menganjurkan untuk meninggalkan tradisi ini. Idealnya kawin lari hanya sebagai formalitas adat Sasak, yakni si perempuan dan keluarganya sudah tahu sebelumnya bahwa si perempuan akan diculik. Namun pada prakteknya, kerap terjadi kawin lari dengan tanpa mendapat persetujuan perempuan dan keluarganya. Hal ini bisa digolongkan sebagai bentuk pemaksaan nikah terhadap perempuan Sasak. Lebih jauh, praktek ini setidaknya melanggar dua hak mereka, yaitu hak untuk menentukan sendiri siapa yang akan menjadi suami mereka dan hak untuk memperoleh dan menyelesaikan pendidikan. Karena tidak jarang perempuan yang dibawa lari akhirnya “harus” menikah dan ketika itu pula mereka “harus” putus sekolah. Dalam konteks inilah, eksistensi nikah lari perlu dipertanyakan karena terkesan sebagai proses penyingkiran hak perempuan dan cita-cita orang tuanya untuk memperoleh pendidikan yang tinggi. Perempuan dengan wawasan yang luas dan tingkat pendidikan yang tinggi tentu berpengaruh positif untuk kemajuan sebuah masyarakat. Mereka juga tentu lebih mampu dan siap untuk mendidik putra-putrinya agar menjadi generasi yang lebih baik dari generasi sebelumnya. Lalu mengapa tradisi merarik masih eksis sampai saat ini? Hal ini bisa dilihat dari pandangan hidup para pelakunya. Masyarakat sasak merupakan masyarakat patriarkat dimana kedudukan perempuan dan laki-laki tidaklah sejajar. Superioritas lakilaki di atas perempuan terlembagakan secara adat. Nilai-nilai yang dikaitkan dengan maskulinitas atau yang dianggap ideal untuk laki-laki dianggap lebih tinggi daripada nilai-nilai femininitas. Berani mengambil resiko, agresif dan kompetitif merupakan diantara stereotip yang dilekatkan pada makulinitas masyarakat Sasak. Dalam budaya merarik, seorang lelaki akan dianggap lebih berwibawa apabila berani mengambil resiko dengan melakukan penculikan terhadap perempuan yang ingin dinikahinya. Melakukan penculikan akan menimbulkan perasaan heroik tersendiri bagi para pelakunya. Oleh karena itu, berani melakukan kawin lari merupakan symbol maskulinitas yang diharapkan ada pada setiap lelaki Sasak. Dalam perkembangannya, laki-laki Sasak mulai menyadari superioritas mereka atas perempuan Sasak. Mereka mulai merasa ada yang tidak adil dengan pola hubungan di antara mereka. Namun tidak mudah juga bagi mereka untuk keluar dari realitas tersebut. Perasaan tidak adil tentu saja selalu kalah dengan kenikmatan previllage budaya Sasak yang langsung mereka rasakan, sehingga konflik tersebut tidak pernah bisa terselesaikan. Laki-laki Sasak yang kemudian berhasil keluar dari konflik tersebut adalah mereka yang tersadar lebih banyak oleh faktor eksternal seperti agama, dan akulturasi lintas budaya.
Berikut adalah dampak dari tradisi perkawinan adat Sasak (merari’) sebagai berikut:
1.      Terjadinya perilaku atau sikap yang otoriter oleh suami dalam menentukan keputusan keluarga;
2.      Berbaginya pekerjaan domestik hanya bagi isteri dan dianggap tabu jika lelaki (suami) Sasak mengerjakan tugas-tugas domestik;
3.      perempuan karier juga tetap diharuskan dapat mengerjakan tugas domestik di samping tugas atau pekerjaannya di luar rumah dalam memenuhi ekonomi keluarga (double faurden/peran ganda);
4.      Terjadinya praktek kawin-cerai yang sangat akut dan dalam kuantitas yang cukup besar di Lombok;
5.      Terjadinya peluang berpoligami yang lebih besar bagi laki-laki (suami) Sasak dibandingkan lelaki (suami) dari etnis lain;
6.      Kalau terjadi perkawinan lelaki jajar karang dengan perempuan bangsawan, anaknya tidak boleh menggunakan gelar kebangsawanan (mengikuti garis ayah), tetapi jika terjadi sebaliknya, anak berhak menyandang gelar kebangsawanan ayahnya;
7.      Nilai perkawinan menjadi ternodai jika dikaitkan dengan pelunasan uang pisuke;
8.      Kalau terjadi perceraian, maka isterilah yang biasanya menyingkir dari rumah tanpa menikmati nafkah selama ‘iddah, kecuali dalam perkawinan nyerah hukum atau nyerah mayung sebungkul;
9.      Jarang dikenal ada pembagian harta bersama, harta biasanya diidentikkan sebagai harta ayah (suami) jika ada harta warisan, sehingga betapa banyak perempuan (mantan isteri) di Sasak yang hidup dari belaian nafkah anaknya karena dianggap sudah tidak memiliki kekayaan lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar