Gender dan Tradisi LOMBOK
Secara sederhana dapat
dinyatakan bahwa gender adalah perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan
perempuan karena konstruksi sosial, dan bukan sekadar jenis kelaminnya. Dengan
sendirinya gender dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai kontruksi masyarakat
yang bersangkutan tentang posisi peran laki-laki dan perempuan. Kerancuan dalam
mempersepsi perbedaan seks dalam kontek sosial budaya dan status, serta peran
yang melakat pada relai laki-laki perempuan pada akhirnya menumbuhsuburkan
banyak asumsi yang memposisikan perempuan sebagai sub- ordinat laki-laki.
Ketimpangan relasi laki-laki-perempuan ini muncul dalam anggapan, laki-laki
memiliki sifat misalnya assertif, aktif, rasional, lebih kuat, dinamis,
agresif, pencari nafkah utama, bergerak di sektor publik, kurang tekun.
Sementara itu di lain sisi, perempuan diposisikan tidak assertif, pasif,
emosional, lemah, statis, tidak agresif, penerima nafkah, bergerak di sektor
domestik, tekun, dll.
Berkembangnya
fenomena-fenomena tersebut lebih menyadarkan kita bahwa gender ternyata ada
dalam konsep sosial masyarakat. Terdapat beberapa kecenderungan di masyarakat
dan keluarga yang menyebabkan terjadinya ketimpangan gender diantaranya adalah
pemposisian peran anak laki-laki dan anak perempuan yang berbeda, baik dalam
status, peran yang melekat ataupun hak-hak yang sebanarnya merupakan hak
universal. Selain itu, dalam keluarga secara tidak sengaja juga dilakukan
sosialisasi pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Anak perempuan membantu
memasak, anak laki-laki membantu ayah mengerjakan pekerjaan ayah, tentunya juga
mengerjakan pekerjaan yang identik laki-laki. Proses pewarisan nilai ini sering
disebut Tradisi dan pada akhirnya akan menjadikan anak terus memegang ajaran
apa yang harus dilakukan oleh anak laki-laki dan apa yang tidak boleh
dilakukannya, demikian juga untuk anak perempuan ada seperangkat aturan yang
tidak boleh dilanggarnya karena budaya melarangnya.
Memang dalam banyak budaya
tradisional, perempuan ditempatkan pada posisi yang dilirik setelah kelompok
laki-laki. Fungsi dan peran yang diemban perempuan dalam mayarakat tersebut
secara tidak sadar biasanya dikonstruksikan oleh budaya setempat sebagai warga
negara kelas dua. Pada posisi inilah terjadi bias gender dalam masyarakat. Meski
disadari bahwa ada perbedaan-perbedaan kodrati makhluk perempuan dan laki-laki
secara jenis kelamin dan konstruksi tubuh, namun dalam konteks budaya peran
yang diembannya haruslah memiliki kesetaraan. Hingga saat ini masih ditengarai
terjadi ketidaksejajaran peran antara laki-laki dan perempuan, yang sebenarnya
lebih didasarkan pada kelaziman budaya setempat. Terkait dalam kehidupan
keseharian, konstruksi budaya memiliki kontribusi yang kuat dalam memposisikan
peran laki-laki terhadap perempuan.
Begitupun dengan budaya atau
tradisi Merariq pada Masyarakat suku Sasak. Seperti yang kita ketahui
Masyarakat Sasak merupakan masyarakat patriarkat dimana kedudukan perempuan dan
laki-laki tidaklah sejajar. Superioritas laki-laki di atas perempuan
terlembagakan secara adat. Nilai-nilai yang dikaitkan dengan maskulinitas atau
yang dianggap ideal untuk laki-laki dianggap lebih tinggi daripada nilai-nilai
femininitas. Berani mengambil resiko, agresif dan kompetitif merupakan diantara
stereotip yang dilekatkan pada maskulinitas masyarakat Sasak. Namun, dengan
berbagai anggapan tersebut mengakibatkan kedudukan kaum perempuan menjadi
terisolir di dalam tradisi Merariq masyarakat Sasak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar