Senin, 10 Juli 2017

Gender dan Tradisi LOMBOK



Gender dan Tradisi LOMBOK
Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa gender adalah perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan karena konstruksi sosial, dan bukan sekadar jenis kelaminnya. Dengan sendirinya gender dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai kontruksi masyarakat yang bersangkutan tentang posisi peran laki-laki dan perempuan. Kerancuan dalam mempersepsi perbedaan seks dalam kontek sosial budaya dan status, serta peran yang melakat pada relai laki-laki perempuan pada akhirnya menumbuhsuburkan banyak asumsi yang memposisikan perempuan sebagai sub- ordinat laki-laki. Ketimpangan relasi laki-laki-perempuan ini muncul dalam anggapan, laki-laki memiliki sifat misalnya assertif, aktif, rasional, lebih kuat, dinamis, agresif, pencari nafkah utama, bergerak di sektor publik, kurang tekun. Sementara itu di lain sisi, perempuan diposisikan tidak assertif, pasif, emosional, lemah, statis, tidak agresif, penerima nafkah, bergerak di sektor domestik, tekun, dll.
Berkembangnya fenomena-fenomena tersebut lebih menyadarkan kita bahwa gender ternyata ada dalam konsep sosial masyarakat. Terdapat beberapa kecenderungan di masyarakat dan keluarga yang menyebabkan terjadinya ketimpangan gender diantaranya adalah pemposisian peran anak laki-laki dan anak perempuan yang berbeda, baik dalam status, peran yang melekat ataupun hak-hak yang sebanarnya merupakan hak universal. Selain itu, dalam keluarga secara tidak sengaja juga dilakukan sosialisasi pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Anak perempuan membantu memasak, anak laki-laki membantu ayah mengerjakan pekerjaan ayah, tentunya juga mengerjakan pekerjaan yang identik laki-laki. Proses pewarisan nilai ini sering disebut Tradisi dan pada akhirnya akan menjadikan anak terus memegang ajaran apa yang harus dilakukan oleh anak laki-laki dan apa yang tidak boleh dilakukannya, demikian juga untuk anak perempuan ada seperangkat aturan yang tidak boleh dilanggarnya karena budaya melarangnya.
Memang dalam banyak budaya tradisional, perempuan ditempatkan pada posisi yang dilirik setelah kelompok laki-laki. Fungsi dan peran yang diemban perempuan dalam mayarakat tersebut secara tidak sadar biasanya dikonstruksikan oleh budaya setempat sebagai warga negara kelas dua. Pada posisi inilah terjadi bias gender dalam masyarakat. Meski disadari bahwa ada perbedaan-perbedaan kodrati makhluk perempuan dan laki-laki secara jenis kelamin dan konstruksi tubuh, namun dalam konteks budaya peran yang diembannya haruslah memiliki kesetaraan. Hingga saat ini masih ditengarai terjadi ketidaksejajaran peran antara laki-laki dan perempuan, yang sebenarnya lebih didasarkan pada kelaziman budaya setempat. Terkait dalam kehidupan keseharian, konstruksi budaya memiliki kontribusi yang kuat dalam memposisikan peran laki-laki terhadap perempuan.
Begitupun dengan budaya atau tradisi Merariq pada Masyarakat suku Sasak. Seperti yang kita ketahui Masyarakat Sasak merupakan masyarakat patriarkat dimana kedudukan perempuan dan laki-laki tidaklah sejajar. Superioritas laki-laki di atas perempuan terlembagakan secara adat. Nilai-nilai yang dikaitkan dengan maskulinitas atau yang dianggap ideal untuk laki-laki dianggap lebih tinggi daripada nilai-nilai femininitas. Berani mengambil resiko, agresif dan kompetitif merupakan diantara stereotip yang dilekatkan pada maskulinitas masyarakat Sasak. Namun, dengan berbagai anggapan tersebut mengakibatkan kedudukan kaum perempuan menjadi terisolir di dalam tradisi Merariq masyarakat Sasak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar